Rabu, 10 Oktober 2012

PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA BAI’AT DAN KONTRAK POLITIK

1. PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA BAI’AT DAN KONTRAK POLITIK Ibnu Khaldtn mengatakan dalam kitabnya, Al-Muqaddimah, ”Baiat ialah janji untuk taat. Seakan-akan orang yang berbaiat itu berjanji kepada pemimpinnya untuk menyerahkan kepadanya segala kebijaksanaan tentang urusan dirinya dan urusan kaum Muslimin, sedikit pun tanpa menentangnya; serta taat kepada perintah pimpinan yang dibebankan kepadanya, suka maupun tidak.” Menurut Taha Huseyn, istilah kontrak politik dalam Islam sama dengan mubaya'ah yang ada dalam Islam, di mana di dalam Islam, pendirian Negara (nash'at al dawlah al islamiyyah) dan pengangkatan pemimpinnya, bergantung pada kontrak yang terjadi antara pemimpin (al hakim/al khalifah) dan rakyatnya (al mahkumin) melalui proses sosial yang disebut dengan bay'at dalam bentuk mubaya'ah Ungkapan ini dibenarkan oleh Yusuf Musa dengan mengatakan bahwa dalam Islam hubungan antara penguasa dan rakyat didasarkan pada kontrak sosial yang disebut bay'at, yang berarti sumpah setia sebagai sumber legitimasi. Menurut Yusuf Musa, dengan menerima bay'at, penguasa dalam Islam itu demokratis sejauh ia memerintah dan mengeluarkan kebijakan yang selaras dengan hukum Islam seperti yang terkandung dalam al-Qur'an dan Hadith Nabi. Istilah mubaya'ah berasal dari kata ba'a, yang secara etimologis berarti menjual sesuatu, dan bermakna leksikal "memberikan sesuatu kepada orang lain dengan imbalan harga". Bay'at mengandung makna perjanjian; janji setia atau saling berjanji dan setia. Dalam pelaksanaan bay'at selalu melibatkan dua pihak secara suka rela, sehingga bay'at juga berarti berjabat tangan untuk bersedia menjawab akad transksi barang atau hak dan kewajiban, saling setia dan taat. Dari penjabaran dua tokoh diatas dapat diambil kesimpulan bahwa bai’at dan kontrak politik merupakan sama-sama suatu bentuk perjanjian. Perbedaan antara Kontrak Politik dan Bai’at adalah bahwa Setiap momen pemilihan umum, baik pemilu kepala daerah, pemilu legislatif, pemilu DPD, maupun pemilu presiden, masyarakat selalu dicekoki oleh berbagai macam kontrak politik. Para calon sering menyodorkan kontrak politik untuk melegitimasi dirinya dalam ajang kompetisi politik tersebut. Persoalannya adalah benarkah kontrak politik dapat dijadikan alas hak bagi rakyat untuk menggugat kandidat ke pengadilan agar memenuhi apa yang sudah menjadi komitmennya atau melaporkan secara pidana ke penyidik dengan dasar suatu tindak pidana, misalnya, penipuan? Dapatkah kontrak politik itu di-enforce (ditegakkan) secara hukum? Fenomena kontrak politik, terlebih sekarang menjelang pemilihan presiden, sebenarnya merupakan sebuah refleksi dari krisis kepercayaan masyarakat terhadap apa yang sering diucapkan atau yang dijanjikan oleh seorang calon presiden. Dikatakan sebagai refleksi dari krisis kepercayaan rakyat karena dengan kontrak politik tersebut, seorang calon perlu meyakinkan rakyat mengenai komitmen politiknya dalam sebuah kontrak di mana ucapannya secara lisan sudah tidak dapat lagi menjadi pegangannya. Ini adalah sebuah pertanda degradasi moral bagi para calon yang bersyahwat ingin memimpin negeri ini. Kontrak politik yang sering dilakukan para kandidat dibuat dengan bahasa umum tanpa suatu klasifikasi tertentu dan bukan dengan bahasa dan klasifikasi hukum. Karena dibuat dengan bahasa yang abstrak dan tidak memiliki makna hukum, dapat dipastikan kontrak politik tidak dapat ditegakkan dalam ranah hukum (non enforceable). Karena kontrak politik tidak memiliki implikasi yuridis, selembar kontrak politik hanyalah seonggok kertas yang tidak bermakna apa pun. Kontrak politik sengaja dibuat dengan suatu bahasa yang abstrak. Misalnya, jika terplilih menjadi presiden, akan memperjuangkan aspirasi rakyat. Tidak jelas apa makna memperjuangkan serta tidak jelas apa yang dimaksud dengan aspirasi rakyat. Karena tidak ada tolok ukur variabel-variabel tersebut, sulit jika si pengontrak politik tersebut sudah jadi presiden dapat di-judgment bahwa ia telah melanggar kontrak politik. Ibnu Khaldun mengatakan dalam kitabnya, Al-Muqaddimah, ”Baiat ialah janji untuk taat. Seakan-akan orang yang berbaiat itu berjanji kepada pemimpinnya untuk menyerahkan kepadanya segala kebijaksanaan tentang urusan dirinya dan urusan kaum Muslimin, sedikit pun tanpa menentangnya; serta taat kepada perintah pimpinan yang dibebankan kepadanya, suka maupun tidak.” Jika disimpulkan dari paparan di atas, nampaknya kontrak politik yang terjadi pada periode modern sekarang ini adalah pengembangan dari system bay'at yang pernah terjadi dalam Islam, sehingga dalam mengkaji tentang kontrak politik, kita juga harus merujuk pada peristiwa bay'at yang pernah terjadi pada masa awal Islam. 2. PERAN DAN TUGAS PARTAI POLITIK MENURUT FIQIH SIYASAH Pertama: Parpol wajib mengoreksi penguasa. Keberadaan parpol dalam Islam memiliki tugas atau kewajiban sesuai dengan yang ditentukan oleh Allah Swt., yakni mendakwahkan Islam dan melakukan amar makruf nahi mungkar (lihat: QS Ali Imran [3]: 104). Di tangan penguasalah puncak kemakrufan atau kemungkaran. Karena itu, fungsi utama amar makruf dan nahi mungkar bersentuhan langsung dengan pihak penguasa. Rasullah saw. bersabda: سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ اْلمُطَالِبِ وَرَجُلٌ قَامَ عَلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ فَقَتَلَهُ Pemuka para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan seseorang yang berdiri di hadapan penguasa zalim untuk melakukan amar makruf nahi mungkar kepadanya, lalu penguasa tersebut membunuhnya. (HR al-Hakim). Hadits ini menunjukkan bahwa tugas parpol adalah melakukan koreksi terhadap penguasa. Jika dalam perjalanan kekuasaannya penguasa melakukan penyimpangan maka tugas dan kewajiban parpol Islam untuk meluruskannya agar sesuai dengan sistem (hukum) Islam. Fungsi perbaikan (ishlâh) hanya dapat dipahami dalam konteks penguasa memang diangkat berdasarkan sistem (hukum) Islam dan dalam rangka menerapkan hukum Allah Swt. Namun, jika penguasa diangkat berdasarkan sistem (hukum) kufur yang mengatur masyarakatnya maka yang dilakukan parpol Islam adalah perubahan total (taghyîr). Pada masa Rasulullah saw., seluruh langkah parpol Islam di kota Makkah adalah langkah-langkah yang bersifat taghyîr (perubahan total), bukan ishlâh (perubahan parsial). Setiap parpol Islam di seluruh negeri-negeri Muslim wajib mencontoh tharîqah (metode) Rasulullah saw. Ini berarti kita telah menjalankan sunnah Rasulullah saw. Kedua: Parpol dalam Islam harus membina kesadaran politik masyarakat. Setiap peristiwa di tengah masyarakat tidak selalu murni tanpa rekayasa. Sebagian peristiwa boleh jadi by design kelompok tertentu dan untuk kepentingan politik tertentu pula. Dalam ungkapan Benjamin Disraeli, “The world is governed by far different personages from what is imagined by those who are not behind the scenes.” (Dikutip dari Luthfi Hidayat, 2007). Pada hakikatnya, situasi politik lokal, regional, dan internasional terjadi mengikuti mainstream dari sebuah kebijakan politik. Umat harus mengamati dan memahami semua kejadian tersebut dari sudut pandang Islam. Inilah yang disebut dengan kesadaran politik Islam. Pada masa lalu, Rasulullah saw. melakukan aktivitas membangun struktur kelompok terpilih yang beranggotakan para Sahabat. Rasulullah saw. membina mereka secara langsung sehingga mereka memiliki kepribadian Islam yang kokoh. Mereka dipersiapkan sebagai pilar-pilar yang akan menjadi penopang ketika masyarakat dan Daulah Islam (Khilafah) terbentuk. Di samping itu, pembinaan secara umum kepada masyarakat dilakukan dengan melontarkan opini umum tentang ajaran Islam, merespon berbagai persoalan kemasyarakatan, membongkar persekongkolan dan rekayasa jahat orang-orang kafir terhadap ajaran Islam dan kaum Muslim, dan sebagainya. Semua itu adalah bagian dari tahapan dan proses yang dijalin oleh Rasulullah saw. dengan tuntunan wahyu Allah SWT. Ketiga: Parpol berupaya mewujudkan dan menjaga tegaknya Islam. Sudah saatnya parpol Islam tidak lagi terbuai dengan wacana demokrasi dan Pemilu yang terbukti hanya fatamorgana. Parpol Islam tidak seharusnya menampilkan simbol-simbol partai, jargon-jargon kosong, retorika tanpa makna yang cenderung melenakan umat, atau pidato agitatif yang membius euforia dan histeria massa ketika kampanye. Jika sekadar itu yang dilakukan maka tidak akan ada implikasinya terhadap kebangkitan Islam.

Tidak ada komentar: