
Berbicara mengenai ru’yat sebagai suatu dalil yang bisa digunakan
untuk penetapan waktu-waktu ibadah boleh dikatakan semua orang muslim
memahaminya dalam tataran konsep.Walaupun dalam tataran praktis
penggunaan hisab bukanlah hal yang baru, apalagi untuk penetapan
waktu-waktu shalat. Hampir bisa dikatakan bahwa kita tidak bisa lepas
dari yang namanya hisab. Hal ini bisa dibuktikan dari hampir selalu
adanya jadwal waktu-waktu shalat di masjid-masjid maupun
mushalla-mushalla yang kita jumpai. Demikian pula halnya dengan
keberadaan kalender hijriyah yang secara praktis merupakan produk hisab,
masih bisa diterima di seluruh lapisan muslim. Sedikit berbeda ketika
berhubungan dengan penetapan awal dan akhir Ramadhan dan awal
Dzulhijjah, perbedaan mengemuka di kalangan ummat dengan kepentingannya
dan argumentasinya sendiri-sendiri. Secara garis besar terdapat tiga
faham yang berbeda dalam penetapan penanggalan Islam:
- Hanya menggunakan ru’yat khususnya untuk bulan-bulan ‘ibadah.
- Menggunakan ru’yah, dan hisab digunakan untuk validasi kebenaran kesaksian ru’yat
- Hisab dapat digunakan secara mandiri untuk penetapan penanggalan dan waktu-waktu ‘ibadah lainnya.
Kelompok-kelompok yang ada tersebut tidak
ada yang menolak mengenai sahnya penetapan penanggalan dengan ru’yat,
hanya saja bagi yang bermadzhab hisab, hisab memiliki lebih banyak aspek
mashlahatnya karena lebih memberikan kepastian mengenai posisi hilal
yang menjadi dasar penetapan penanggalan Islam. Sementara bagi penganut
ru’yat, ru’yat hilal merupakan aspek ta’abbudi yang harus diikuti untuk
mengawali dan mengakhiri bulan-bulan ‘ibadah.
Namun bila dinyatakan bahwa
hisablah sebenarnya yang dianjurkan Islam untuk penetapan waktu-waktu ‘ibadah mungkin banyak orang yang mempertanyakannya termasuk mungkin bagi mereka yang menggunakan hisab.
Hisab sesuai Sunnatullah
Ilmu hisab falak adalah ilmu yang diajarkan Allah
kepada hamba-Nya secara langsung, sekaligus sebagai bukti al-Qur’an
kalam Allah bukan buatan Muhammad seorang yang ummi sebagaimana yang
dituduhkan sebagian orang-orang kafir, sekaligus sebagai bukti kebenaran
berita al-Qur’an yang merupakan mu’jizat sepanjang zaman. Dalil-dalil
ini di antaranya:
الرَّحْمَنُ. عَلَّمَ الْقُرْآنَ. خَلَقَ الْإِنسَانَ . عَلَّمَهُ الْبَيَانَ. الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ . (الرحمن:1-5)
(Tuhan) Yang Maha Pemurah, Yang telah mengajarkan Al Qur’an. Dia
menciptakan manusia, Mengajarnya pandai berbicara. Matahari dan bulan
(beredar) menurut perhitungan. (QS Ar Rahman 1-5)
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ
ضِيَاء وَالْقَمَرَ نُوراً وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُواْ عَدَدَ
السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللّهُ ذَلِكَ إِلاَّ بِالْحَقِّ
يُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (يونس:5)
Dia-lah yang
menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya
manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu
mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak
menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan
tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. (QS
Yunus 10: 5).i
Pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa ilmu hisab bukan sebagai
ilmu Islam justru bertentangan dengan banyak dalil dari al-Qur’an, dan
jelas suatu pendustaan terhadap firman Allah.
Pandangan sebagian ulama terdahulu yang menentang hisab terutama
muncul dari kalangan mereka yang kurang memahami Ilmu ini dan
mengabaikan firman-firman Allah dalam al-Qur’an mengenai hisab dan ilmu
pengetahuan lainnya yang kemudian diikuti fara muqallidin dari kalangan
ulama khalaf yang mengikuti pendahulunya dengan menisbahkannya sebagai
sunnah. Inilah yeng menjadi akar timbulnya pertentangan di kalangan
ummat karena mereka telah meninggalkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Sikap penolakan terhadap ilmu hisab khususnya untuk penetapan bulan-bulan ‘ibadah terutama dilatarbelakangi oleh:
- Ketidak-fahaman sebagian ulama (bukan ahli hisab) tentang hakikat
ilmu hisab dan menganggapnya sebagai ilmu meramal yang tidak bisa
mencapai derajat yakin.
- Adanya anggapan bahwa ilmu hisab sebagai bagian dari ilmu peramalan
nasib dengan bintang yang ditentang Islam, sehingga haram
menggunakannya.
- Ketidak-fahaman para penentang hisab yang menganggap hisab
sama-sekali lepas dari ru’yat dan menyalahi sabda-sabda Rasulullah
tentang penetapan penanggalan Islam terutama bulan-bulan ‘ibadah.
Alasan-alasan di atas dengan jelas ditentang oleh Allah seperti dalam
dalil-dalil tersebut di atas, yang menyatakan bahwa sifat ‘bi-husbaan’
merupakan sunnatullah yang sama sekali berbeda dengan ilmu meramal nasib
oleh para ahli nujum (astrologi), bahkan mendalami astronomi sangat
dianjurkan oleh Allah Ta’ala.
Penolakan terhadap ketetapan Allah ini jelas-jelas merupakan
kekufuran terhadap ayat-ayat Allah yang tidak mungkin dilakukan oleh
generasi awal ummat ini, dengan demikian
terbantahlah anggapan bahwa telah adanya ijma’ dari generasi awal ummat bahwa mereka menolak hisab.
Yang benar adalah mereka belum menguasai ilmu hisab falak sehingga
mereka tidak sepenuhnya menggunakannya, sebagaimana yang akan kita bahas
berikut ini.
Anggapan bahwa ilmu hisab sebagai bagian dari ilmu peramalan nasib
dengan bintang yang ditentang Islam, sehingga haram menggunakannya sama
sekali tidak bisa dipertanggung-jawabkan dan bertentangan dengan firman
Allah bahwa itu merupakan ketetapan-Nya yang haq (sunatullah) dan sama
sekali tidak sama dengan ilmu ramalan bintang. Pendapat ini muncul dari
kebodohan orang tentang ilmu ini dan enggan untuk mentafakuri ayat-ayat
Allah tentang alam semesta, sebagaimana tersebut dalam firman Allah
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لِّأُوْلِي الألْبَابِ. إالَّذِينَ
يَذْكُرُونَ اللّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَىَ جُنُوبِهِمْ
وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ رَبَّنَا مَا
خَلَقْتَ هَذا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. (أل عمران: 190-191)
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau
duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah
Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS Ali Imran 190- 191)
Anggapan bahwa
hisab sama-sekali lepas dari ru’yat dan menyalahi sabda-sabda Rasulullah
tentang penetapan penanggalan Islam jelas suatu pendapat yang sangat
keliru, karena ilmu hisab falak ini lahir dari serangkaian penelitian
data-data ru’yat yang dilakukan selama periode yang panjang bahkan dari
generasi ke generasi, serta melalui tahap ujicoba dan analisis yang
cermat sehingga ditemukan formulasi hisab, yang akurat dan teruji dengan
baik.
Al-Qur’an menekankan Hisab untuk Penentuan Penanggalan
Landasan penanggalan kalender Islam (kalender hijriyyah) ditetapkan
langsung oleh Allah dalam al-Qur’an dalam beberapa ayat yang
terpisah-pisah.
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ
اللّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْراً فِي كِتَابِ اللّهِ يَوْمَ خَلَقَ
السَّمَاوَات وَالأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ
الْقَيِّمُ فَلاَ تَظْلِمُواْ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ وَقَاتِلُواْ
الْمُشْرِكِينَ كَآفَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَآفَّةً وَاعْلَمُواْ
أَنَّ اللّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ (التوبة:36)
Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas
bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi,
di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus,
maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan
perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi
kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang
bertakwa. (QS At Taubah 36)
Berdarakan ayat di atas, Allah Ta’ala mengajarkan kepada kita
bagaimana kalender Islam seharusnya dibangun yang berbeda dengan
kalender luni-solar yang sebelumnya digunakan oleh Arab pra Islam.
Kalender Arab pra-Islam adalah kalender qamariyah yang disesuaikan
dengan periode pergantian musim tahunan, sehingga setelah periode
tertentu, satu tahun ada penambahan satu bulan untuk menyesuaikan dengan
musim tahunan. Bulan tersebut dikenal dengan bulan Nasi. Dan oleh Islam
kebiasaan tersebut dibatalkan. Selanjutnya Allah berfirman:
إِنَّمَا النَّسِيءُ زِيَادَةٌ فِي الْكُفْرِ يُضَلُّ بِهِ
الَّذِينَ كَفَرُوا يُحِلُّونَهُ عَامًا وَيُحَرِّمُونَهُ عَامًا
لِيُوَاطِئُوا عِدَّةَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فَيُحِلُّوا مَا حَرَّمَ
اللَّهُ زُيِّنَ لَهُمْ سُوءُ أَعْمَالِهِمْ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي
الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ (التوبة:37)
Sesungguhnya an-nasi’ (mengundur-undurkan bulan haram) itu adalah
menambah kekafiran, disesatkan orang-orang yang kafir dengan
mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan
mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat menyesuaikan
dengan bilangan yang Allah mengharamkannya maka mereka menghalalkan apa
yang diharamkan Allah. (Syaitan) menjadikan mereka memandang
baik perbuatan mereka yang buruk itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang kafir. (QS At Taubah 37)
Allah juga menegaskan bahwa wujud
hilal-lah yang menjadi
batas-batas berawal dan berakhirnya suatu bulan, yaitu hilal yang dapat
disaksikan di akhir setiap bulan. Dan oleh karena pergantian hari
kalender Islam adalah maghrib maka hilal tersebut adalah hilal yang
muncul bersamaan dengan terbenamnya Matahari. Allah berfirman:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأهِلَّةِ
قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ
تَأْتُوْاْ الْبُيُوتَ مِن ظُهُورِهَا وَلَـكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى
وَأْتُواْ الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ (البقرة:189)
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit.
Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan
(bagi ibadat) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari
belakangnya , akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang
bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan
bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. (QS Al Baqarah 189)
Allah menjelaskan suatu fenomena sekaligus mengajarkan bahwa Matahari dan bulan beredar mengikuti perhitungan.
الرحمن علم القرءان خلق الإنسان علمه البيان الشمس والقمر بحسبان (الرحمن:1-5)
(Tuhan) Yang Maha Pemurah, Yang telah mengajarkan al-Qur’an, Yang
telah menciptakan manusia, Yang mengajarinya ilmu pengetahuan. Matahari
dan bulan beredar mengikuti perhitungan. (QS Ar Rahman 1-5)
Bahkan Allah menjelaskan bahwa sebagai akibat dari peredaran
tersebut, fase-fase bulan terbentuk dan membentuk siklus bulanan. Allah
berfirman:
وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ (يس: 39)
Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga
(setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai
bentuk tandan yang tua.
Fase dari hilal pertama ke hilal berikutnya dari satu siklus itulah
yang dinamakan satu bulan. Allah Ta’ala menjelaskan bahwa terbentuknya
fase-fase tadi merupakan suatu ketetapan Allah yang semuanya bisa
diukur, bisa dihitung dan dengannyalah Allah mengajarkan ilmu bagaimana
menghitung tahun dan menghisabnya kepada kita.
هو الذي جعل الشمس ضياء والقمر نورا وقدره منازل لتعلموا عدد
السنين والحساب ما خلق الله ذلك إلا بالحق يفصل الآيات لقوم يعلمون إن في
اختلاف الليل والنهار وما خلق الله في السموات والأرض لآيات لقوم
يتقون(يونس:5-6)
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan
ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan
itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).
Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia
menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang
mengetahui.
Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu
dan pada apa yang diciptakan Allah di langit dan di bumi, benar-benar
terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang-orang yang bertakwa.
Allah menjelaskan dengan itu bukti-bukti kebenaran firmanNya, bahwa
al-Qur’an adalah kalamullah mustahil dibuat oleh Muhammad saw seorang
yang ummi melainkan semata-mata wahyu Allah yang diterimanya dan
disampaikannya kepada ummatnya apa adanya.
Bukti-bukti ini memang pada masa-masa awal Islam belum bisa dipahami
sepenuhnya oleh kaum muslimin karena kebanyakan dari mereka adalah kaum
yang ummi, namun al-Qur’an adalah mu’jizat sepanjang zaman yang akan
membatalkan setiap tuduhan siapapun yang mengatakan al-Qur’an buatan
Muhammad. Dan bukti-bukti ini telah terbukti bagi kita sekarang. Lalu
apakah kita masih akan ragu dengan kebenaran al-Qur’an? Inilah mungkin
rahasia yang terungkap dari turunnya ayat al-Qur’an surat Ali Imran
190-191.
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ
اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لِّأُوْلِي الألْبَابِ. إالَّذِينَ
يَذْكُرُونَ اللّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَىَ جُنُوبِهِمْ
وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ رَبَّنَا مَا
خَلَقْتَ هَذا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. (أل
عمران:191-190)
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau
duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah
Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS Ali Imran 190-191)
Dalam suatu riwayat dijelaskan setelah turun ayat ini Rasulullah
terus menerus menangis sepanjang malam bahkan ketika Rasulullah
melaksanakan shalat malam, hingga ketika waktu shubuh datang dan
Rasulullah belum hadir Bilal mengunjunginya dan menanyakannya apa
gerangan yang membuat seorang Rasul yang ma’shum menangis. Rasulullah
menjawab turunnya ayat inilah yang membuatnya menangis. Lantas beliau
mengatakan celakalah orang yang membacanya tapi tidak mau
mentafakurinya.
Rasulullah Mengajarkan Prinsip-prinsip Dasar Hisab
Penggunaan hisab ini sebagai dalil penentuan penanggalan qamariyah
maupun waktu-waktu ibadah lainnya ditetapkan dan dijamin oleh Allah,
namun kaum muslimin saat itu bukanlah orang-orang yang bisa menghisab
bulan. Pengetahuan ilmu hisab belum berkembang saat itu dikalangan kaum
muslimin. Perhitungan yang dikenal dan dikuasai umumnya sebatas
perhitungan-perhitungan sederhana yang biasa digunakan dalam transaksi
jual-beli, takar-menakar, dan sebagainya. Untuk menentukan waktu harian
mereka biasa melihat posisi Matahari; dan untuk menentukan penanggalan,
mereka melihat posisi dan fase bulan. Praktek ru’yat ini merupakan
praktek yang sudah terbiasa dikalangan bangsa Arab pra Islam, tidak ada
yang asing dalam hal bagaimana meru’yat hilal, dan memahami perubahan
fase-fase bulan. Mereka bisa secara langsung memprediksi tanggal berapa
hanya dari melihat posisi dan fase bulan yang muncul.
Rasulullah menyampaikan sesuatu yang baru dalam menetapkan
penanggalan dalam Islam sesuai ketentuan Allah. Beliau mengoreksi sistem
penanggalan era pra-Islam yang mengenal adanya bulan ke-13 pada
tahun-tahun tertentu dan menetapkan hanya ada 12 bulan dalam satu tahun
sebagaimana telah dijelaskan di muka. Beliau juga menjelaskan dan
memperkenalkan hisab secara sederhana dan bertahap tanpa secara langsung
meninggalkan ru’yat. Apa yang dijelaskan Rasulullah adalah membimbing
kaum muslimin bagaimana memahami hisab secara sederhana dengan
menekankan pada kaidah-kaidah dasar yang harus dipenuhi, yang bisa
dijadikan rujukan baik bagi kalangan awam maupun para ulama Islam
berikutnya.
Berikut ini di antara dalil-dalil yang menceritakan panduan-panduan yang diajarkan Rasulullah untuk menghisab bulan.
وحدثني زهير بن حرب حدثنا إسماعيل عن أيوب عن نافع عن بن عمر
رضي الله عنهما قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم إنما الشهر تسع
وعشرون فلا تصوموا حتى تروه ولا تفطروا حتى تروه فإن غم عليكم فاقدروا له (
مسلم )
وحدثني حميد بن مسعدة الباهلي حدثنا بشر بن المفضل حدثنا سلمة
وهو بن علقمة عن نافع عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما قال قال رسول
الله صلى الله عليه وسلم ثم الشهر تسع وعشرون فإذا رأيتم الهلال فصوموا
وإذا رأيتموه فأفطروا فإن غم عليكم فاقدروا له ( مسلم )
Dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar ra, ia berkata: Telah bersabda
Rasulullah saw: “Sesungguhnya satu bulan itu 29 (hari), maka janganlah
kamu berpuasa sehingga kamu melihatnya dan janganlah kamu berbuka
sehingga melihatnya, maka jika terhalang atasmu maka perkirakanlah ia.
(Muslim)
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا أبو أسامة حدثنا عبيد الله
عن نافع عن بن عمر رضي الله عنهما ثم أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ذكر
رمضان فضرب بيديه فقال الشهر هكذا وهكذا وهكذا ثم عقد إبهامه في الثالثة
فصوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن أغمي عليكم فاقدروا له ثلاثين
وحدثنا بن نمير حدثنا أبي حدثنا عبيد الله ثم بهذا الإسناد وقال فإن غم عليكم فاقدروا ثلاثين نحو حديث أبي أسامة ( مسلم )
وحدثنا عبيد الله بن سعيد حدثنا يحيى بن سعيد عن عبيد الله
بهذا الإسناد وقال ثم ذكر رسول الله صلى الله عليه وسلم رمضان فقال الشهر
تسع وعشرون الشهر هكذا وهكذا وهكذا وقال فاقدروا له ولم يقل ثلاثين ( مسلم )
Dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar ra, ia berkata, kemudian Rasulullah saw
menyebut Ramadhan memberi isyarat dengan kedua tangannya kemudian
bersabda: “Satu bulan itu begini, begini dan begini kemudian nabi
melipat jempolnya pada yang ketiga, maka berpuasalah kamu karena
melihatnya dan berbukalah kamu karena melihatnya, maka jika terhalang
atasmu maka perkirakanlah 30. Di riwayat lain dari Ubaidillah dengan
isnad ini kemudian Rasulullah saw menyebut Ramadhan kemudian beliau
bersabda: “Satu bulan itu 29, satu bulan itu begini, begini dan begini
dan berkata maka perkirakanlah baginya, dan beliau tidak menyebut 30.
(Muslim)
وحدثني عن مالك عن عبد الله بن دينار عن عبد الله بن عمر أن
رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ثم الشهر تسعة وعشرون فلا تصوموا حتى
تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه فإن غم عليكم فاقدروا له ( مالك )
Dari Ibn Dinar dari Abdullah bin ‘Umar ra, bahwasanya Rasulullah
saw telah bersabda: “Kemudian satu bulan itu 29 (hari), maka janganlah
kamu berpuasa sehingga kamu melihat hilal dan janganlah kamu berbuka
sehingga melihatnya, maka jika terhalang atasmu maka perkirakanlah ia.
(Malik)
Hadits-hadits tersebut mengajarkan bagaimana prinsip-prinsip hisab
dibangun, sekaligus Rasulullah menjelaskan mengenai apa yang difirmankan
Allah dalam al-Qur’an:
- Dasar lamanya satu bulan adalah 29 hari.
Dalam banyak hadits yang shahih Rasulullah mengatakan bahwa satu
bulan adalah 29 hari (malam). Pengenalan ilmu hisab pertama dari
Rasulullah. Bahwa satu bulan cukup menghitung 29 hari dari saat pertama
terlihatnya hilal tanpa harus mengamati perubahan fase bulan dari
hari-ke hari. Hilal baru tidak mungkin muncul di hari-hari kurang dari
itu. Dan ini merupakan batas minimal satu bulan yang diajarkan
Rasulullah, selanjutnya:
- Yakinkan wujudnya hilal pada akhir hari ke-29 (saat ghurub), jika hilal diyakini ada maka tetapkanlah lama bulan 29 hari.
- Jika wujud hilal pada saat itu dipastikan tidak ada maka tetapkanlah hitungan bulan 30 hari.
Kaidah ini merupakan kaidah hisab praktis yang dapat dengan mudah
diterima oleh kaum muslimin, karena sesuai dengan realita. Jika pada
akhir tanggal 29 hilal dipastikan tidak wujud, maka dapat dipastikan
bahwa keesokan harinya sudah jauh di atas ufuk, walaupun mendung
menghalangi pandangan. Dengan demikian tidak diperlukan lagi adanya
ru’yat, cukup hisablah bulan 30. Dan tentunya kesimpulan ini didukung
oleh bukti-bukti ru’yat yang cukup panjang.
Meyakinkan wujudnya hilal dengan hisab bukanlah hal yang sulit, namun
dalam kondisi awal-awal Islam kaum muslimin boleh dikata belum
menguasai ilmu hisab, kemampuan ilmu hisab hanya terbatas penjumlahan
dan pengurangan sederhana yang sering dipakai dalam transaksi jual beli
atau takar menakar. Bahkan alat ukur waktu seperti yang ada sekarang
belum pernah diberitakan ada semua dibaca dari tanda-tanda alamiah alam,
sehingga diperlukan suatu kaidah transisi, yang diajarkan Rasulullah
yang kemudian diceritakan dan atau disampaikan para sahabat apa adanya
atau sesuai pemahaman mereka.
- Jika pada akhir hari ke-29 (saat ghurub) hilal tidak terlihat
(tidak wujud) karena terhalang, maka yakinkanlah akan wujudnya hilal,
dan tetapkan hitungan 30 hari saat wujud hilal tidak bisa dibuktikan
(tidak ada berita kesaksian hilal).
Pernyataan ini menolak anggapan bahwa penghalang menjadi illat hukum
ikmal jumlah hari menjadi 30, karena illat hukumnya sendiri adalah wujud
hilal (diyakini wujudnya hilal). Dan ini sesuai kaidah ushul:
الحكم يدور مع علته وجودا و عدما
“Hukum berjalan sesuai ‘illatnya ada dan tiada.”
Wujud hilal itulah yeng menjadi illat hukum
ditetapkannya tanggal baru, bukan mendung sebagaimana difahami sebagian
orang. Kaidah ikmal menjadi tiga puluh hari saat mana hilal diyakini
belum wujud pada akhir tanggal 29 adalah sejalan dengan kaidah ushul
ini, karena bila pada tanggal 29 hilal tidak wujud naka dapat dipastikan
bahwa hilal wujud pada tanggal 30 walaupun pandangan kita terhalang
untuk melihatnya. Argumentasi bahwa wujud hilal sebagai
illat hukum ditetapkan awal bulan sesuai dengan firman Allah Ta’ala:
يسألونك عن الأهلة قل هي مواقيت للناس والحج (البقرة:189)
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan
sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji
Dan ini secara praktis diakui oleh kaum muslimin bahwa terhalangnya
pandangan dari segolongan besar muslim akan melihat hilal gugur manakala
ada kesaksian walaupun sebagian kecil tentang adanya hilal. Dengan
demikian sesungguhnya yang
menjadi ijma’ di kalangan shahabat adalah wujud hilal sebagai dalil ditetapkannya awal bulan,
dan bukan melihatnya itu sendiri. Dan ini sesuai dengan firman Allah di atas. Dari uraian ini maka akan jelaslah makna firman Allah Ta’ala:
فمن شهد منكم الشهر فليصمه
“Maka barang siapa di antara kami menjadi syahid (datangnya) bulan maka hendaklah ia berpuasa.”
Makna
syahid berdasarkan banyak dalil lebih mengarah kepada
pengetahuan dan keyakinan dan bukan kepada kesaksian dengan mata. Dan
keyakinan datangnya bulan bisa diketahui dengan melihat langsung, dengan
kesaksian orang lain atau dengan hisab sebagaimana yang difirmankan
Allah dalam al-Qur’an. Coba perhatikan bagaimana Rasulullah menuntun
para sahabatnya yang ummi untuk bisa menghisab dengan mengajarkan
bahwasanya satu bulan 29 hari tanpa harus mengamati perubahan fase bulan
dari hari ke hari, kemudian apa yang kemudian difahami para sahabat
tentang menghisab atau menetapkan hitungan 30 saat sama sekali hilal
tidak bisa disaksikan mata pada akhir tanggal 29.
Dan dengan penggunaan hisab prediksi wujudnya hilal lebih bisa
dipastikan daripada dengan ru’yat dan inilah yang disinyalir dalam
al-Qur’an:
هو الذي جعل الشمس ضياء والقمر نورا وقدره منازل لتعلموا عدد السنين والحساب ما خلق الله ذلك إلا بالحق يفصل الآيات لقوم يعلمون
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan
ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan
itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).
Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia
menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang
mengetahui.
Berdasarkan ayat ini Allah memberitakan bahwa Dia telah menetapkan
fase-fase bulan dan memungkinkan untuk menghisabnya. Sehingga fase-fase
hilal tersebut sebenarnya bisa dihitung untuk menetapkan apakah hilal
sudah ada atau belum. Ayat inipun memberi indikasi bahwa ilmu hisab
tidaklah lahir dengan sendirinya tetapi melalui proses yakni proses
ru’yat dan pencatatan data-data ru’yat yang Selanjutnya dianalisis,
diuji dan diformulasikan sehingga dihasilkan formulasi hisab seperti
yang ada sekarang. Namun kaum muslimin saat itu adalah kaum tidak
menguasai ilmu hisab, sehingga untuk meyakinkan hadirnya hilal
dimintailah kesaksian orang-orang dari daerah-daerah sekitar tentang
tampaknya hilal pertama tadi. Di satu daerah bisa jadi berkabut, mendung
atau karena halangan-halangan lainnya sehingga hilal tidak bisa
disaksikan, namun di daerah-daerah lainnya yang berdekatan bisa jadi
hilal bisa dilihat. Dan kesaksian inilah yang diakui. Ini menggambarkan
bahwa begitu ada halangan melihat hilal tidak serta merta satu bulan
dihitung menjadi 30, tapi menunggu kepastian ada tidaknya hilal dari
hasil penglihatan orang-orang lainnya. Hal inilah bisa jadi rahasia
mengapa Allah menekankan hisab, karena kemampuan melihat seseorang bisa
terhalang oleh berbagai hal seperti lokasi, mendung, debu dan
sebagainya.
Berkaitan ini saya nukilkan beberapa riwayat yang menggambarkan fenomena ini:
Dari Ibnu Umar Radiyallahu ‘anhu, ia berkata : “Manusia
mencari-cari hilal, maka aku kabarkan kepada Nabi bahwa aku melihatnya,
maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam pun menyuruh manusia
berpuasa.” (HR Abu Daud (2342), Ad Darimi (2/4), Ibnu Hibban (871), Al
Hakim (1/423), Al Baihaqi (4/212), dari dua jalan, yakni dari jalan Ibnu
Wahb dari Yahhya bin Abdullah bin Salim dari Abu Bakar bin Nafi’ dari
bapaknya dari Ibnu Umar, sanadnya hasan, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu
Hajar dalam At Talkhisul Habir (2/187)[i][i].
Dikisahkan ketika seorang Arab Badui melapor kepada Nabi bahwa ia
menyaksikan hilal, maka Nabi menerimanya padahal ia berasal dari daerah
lain dan Nabi juga tidak minta penjelasan apakah mathla’-nya berbeda
atau tidak. (Majmu’ Fatawa, 25/103) Hal ini mirip dengan pengamalan
ibadah haji jaman dahulu di mana seorang jamaah haji masih terus
berpegang dengan berita para jamaah haji yang datang dari luar tentang
adanya ru’yah hilal. Juga seandainya kita buat sebuah batas, maka antara
seorang yang berada pada akhir batas suatu daerah dengan orang lain
yang berada di akhir batas yang lain, keduanya akan memiliki hukum yang
berbeda. Yang satu wajib berpuasa dan yang satu lagi tidak. Padahal
tidak ada jarak antara keduanya kecuali seukuran anak panah. Dan yang
seperti ini bukan termasuk dari agama Islam. (Majmu’ Fatawa, 25/103-105)[ii][ii]
1993 حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكَّارِ بْنِ الرَّيَّانِ
حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ يَعْنِي ابْنَ أَبِي ثَوْرٍ ح و حَدَّثَنَا
الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ يَعْنِي الْجُعْفِيَّ عَنْ
زَائِدَةَ الْمَعْنَى عَنْ سِمَاكٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ
قَالَ جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلَالَ قَالَ الْحَسَنُ فِي
حَدِيثِهِ يَعْنِي رَمَضَانَ فَقَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا
اللَّهُ قَالَ نَعَمْ قَالَ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ
قَالَ نَعَمْ قَالَ يَا بِلَالُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ فَلْيَصُومُوا غَدًا
*(أبو داود)
Fenomena di atas menjelaskan bahwa kepastian hilal yang dilakukan
melaui ru’yat perlu dikonfirmasi dengan kesaksian-kesaksian yang lainnya
untuk mendapatkan informasi yang meyakinkan tentang wujudnya hilal.
Sehingga untuk kasus ini berlaku kaidah bahwa yang melihat secara
langsung setelah diketahui kejujurannya didahulukan dari yang tidak bisa
melihat, bahkan informasi yang tertunda tetap diterima walau hari sudah
berjalan.
Dengan demikian jelaslah sebenarnya hisablah yang ditekankan dalam
Islam dan diajarkan Rasulullah. Rasulullah telah mengajarkan
prinsip-prinsip dasar hisab kepada kaum muslimin saat itu sebagai bahan
rujukan bagi generasi sesudahnya, sekaligus memandu bagaimana ilmu hisab
itu bisa terwujud dengan digalakkannya ru’yat hilal, yang dari
data-data yang ada yang dikumpulkan selama waktu yang panjang, para
ulama yang terpanggil dengan seruan Allah bisa mempelajarinya,
merumuskannya, lantas mengujinya dan menuangkannya menjadi suatu ilmu
yang bermanfaat yaitu ilmu hisab (falak).
Ayat-ayat al-Qur’an ini tidak hanya memandu orang beriman, bahkan
juga telah memberi inspirasi dan mendorong orang-orang kafir mempelajari
ilmu pengetahuan tentang jagat raya dan mengungkap rahasia-rahasia
kebesaran Allah lainnya di alam semesta ini sehingga mereka bisa
mencapai pengetahuan dan teknologi seperti yang terjadi sekarang ini.
Dan inilah salah satu hujjah atas orang-orang kafir yang membantah
kebenaran al-Qur’an sebagai kalamullah. Namun adakah mereka masih
meragukannya, setelah bukti-demi bukti kebenaran al-Qur’an dibukakan
dihadapan mereka?
Lalu bagaimana mungkin ada segolongan yang mengatakan beriman dan mau
tunduk kepada al-Qur’an dan as-Sunnah justru mengatakan ilmu ini
sebagai bagian dari ajaran paganisme? Kalau memang demikian keimanan
kepada siapakah yang dianut ketika ungkapan penolakan ini dilontarkan.
Ingatlah saudara-saudaraku dan segeralah kalian bertaubat kepada Allah
agar kalian diampuni-Nya.
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ
اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى
بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلَا
تَذَكَّرُونَ(الجاثية: 23)
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya
sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan
Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan
tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?
Wahai saudara-saudaraku, berhentilah dari mencaci-caci kebenaran dan
menuduhnya sebagai sesuatu yang bid’ah, padahal hati kalian menerimanya.
Kalian bertahan hanya karena mengikuti faham orang-orang terdahulu yang
belum tentu mereka itu rela untuk diikuti setelah mereka tahu dalam hal
ini mereka keliru padahal kalian meyakini mereka adalah orang-orang
yang selalu siap kembali kepada Allah dan Rasul-Nya, janganlah kalian
seperti kaum yang disinyalir Allah dalam al-Qur’an:
وَإِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً قَالُوا وَجَدْنَا عَلَيْهَا
ءَابَاءَنَا وَاللَّهُ أَمَرَنَا بِهَا قُلْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَأْمُرُ
بِالْفَحْشَاءِ أَتَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ(الأعراف:
28)
Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata:
“Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan
Allah menyuruh kami mengerjakannya. Katakanlah: “Sesungguhnya Allah
tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji.” Mengapa kamu
mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?
Orang-orang beriman akan bersikap:
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا
أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ
يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا
وَهُمْ يَعْلَمُونَ(أل عمران: 135)
Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau
menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun
terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa
selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.